Top dan Unik
Kantor Wahyu Utama Telepon. Email bumipeternakanwahyuutama@gmail.com .
HANYA MELAYANI MELALUI EMAIL
Selamat Datang
Jika kamu mau update berita selanjutnya ,kamu bisa berlangganan gratis blog ini silakan klik link
Bumi Peternakan !

Cari Artikel

30 Juni 2012

Inilah Kisah Pengusaha Sukses yang Berusia 18 Tahun

Bisnis aneka minuman cepat saji kian mengalir. Mulai mengusung merek pribadi hingga waralaba (franchise). Bahan dasarnya bisa susu, cincao, teh, sinom alias jamu, buah, hingga yang serba racikan sendiri. Bisnis teh kemasan siap saji misalnya, banyak diminati lantaran keuntungan yang diperoleh cukup besar, cara pembuatannya juga tak sulit.
Meracik teh yoghurt kini menjadi andalannya. Padahal, Victor Giovan Raihan, pelajar 18 tahun ini, semula hanya iseng-iseng saja membuat minuman yang memadukan teh dan susu fermentasi ini. Hasilnya, minuman olahannya ternyata memiliki banyak penggemar.




“Modal awalnya Rp 3 juta dengan meminjam dari orangtua sekitar 2010. Saat ini per outlet paling apes menghasilkan Rp 2 juta per bulan. Outlet lain yang ramai bisa lebih dari itu,” aku pemilik merek Teh Kempot ini.
Ide menamai Teh Kempot berasal dari cara orang minum teh kemasan dengan sedotan, jika teh terasa enak dan hampir habis pasti orang akan terus menyedot hingga bentuk pipinya kempot. Begitu kira-kira harapan Victor menjadikan teh yoghurt berasa paling yummy.
Sulung dua bersaudara yang bersekolah di SMA Negeri 1 Kepanjen ini memiliki 10 outlet yang dikelola sendiri dan 17 outlet yang dikelola oleh mitranya. Bermitra dengannya cukup bayar Rp 3,5 juta dan akan mendapatkan 1 paket booth (gerobak), alat masak dan 100 cup (gelas kemasan) pertama. Dua mitra diantaranya ada di Jakarta dan Palembang, lainnya tersebar di Kota Malang.
“Saya belum berani menjual hak dagang secara franchise karena masih sangat pemula. Jujur saja bisnis teh kemasan siap saji ini marjin keuntungannya bisa 350 persen. Kalau kuliner seperti, Bakso Mercon yang sedang saya kelola, marjin keuntungannya hanya 100 persen,” lanjut putra pasangan Sri Winarsih dan Bambang Hermanto.
Victor memang lebih dulu mengelola bisnis bakso, ketimbang teh yoghurt. Outlet baksonya baru ada lima, kesemuanya ada di Malang. Tahun ini, ia berencana nambah lima outlet. Bisnis yang dikelolanya ini belakangan berkembang ke minuman. Alasannya sederhana, kalau orang makan bakso pasti butuh minum.
“Saya coba beli daun teh setengah matang dari pemasok, saya kelola sendiri lalu saya mix dengan yoghurt (susu fermentasi). Ada rasa lemon tea, stoberi, dan cokelat,” ujar pria yang bermukim di Jl Panji II Kepanjen ini.
Per kemasan atau segelas teh yoghurt ukuran 250 ml dijual seharga Rp 2.000-2.500. Jumlah karyawan yang bekerja padanya kini tak kurang dari 50 orang, termasuk untuk outlet bakso dan teh yoghurt.
Setiap harinya, ia bisa menghabiskan 20 kg daun teh kering untuk diproduksi atau menjadi 70 gelas. Gula yang dibutuhkan 4 kg per outlet per hari. Sedangkan kebutuhan daging untuk bakso sekitar 20 kg per hari.
“Usaha bakso tetap akan jadi core business saya karena omzetnya besar. Kalau teh hanya sampingan. Ke depan, saya akan tambah mitra di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Sidoarjo,” lanjut Victor.
Ia mengaku, jalan yang ia tempuh dari hasil kerja kerasnya kini membawa keberuntungan yang luar biasa di usianya yang masih belia. “Saya tidak tahu jika dulu saya mengikuti anjuran ayah untuk sekolah di kepolisian apa ‘omzet’nya akan sebesar ini. Keluarga besar saya semua di jalur angkatan bersenjata. Tapi saya tidak minat mengikuti jejak tersebut,” yakinnya.
Untuk perluasan usaha, Victor masih enggan mengajukan kredit kemana-mana. Pakai modal pribadi dan pinjam orangtua masih memungkinkan. “Toh bapak saya dapat fasilitas kredit dari bank, yakni kredit kepolisian. Saya pinjam dari situ juga,” pungkasnya.
Read More..

29 Juni 2012

Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia



Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian dari segi ekonomi yang sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, dan jerohan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia.

  1. Fasciolosis

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Pada umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat fasciolosis ditaksir 20 Milyard rupiah / tahun yang berupa : penurunan berat badan serta tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian. Disamping itu kerugian berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit lain yang tidak terhitung.
Etiologi
Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Siklus Hidup

Telur fasciola masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja hospes definitif. Di luar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke tubuh siput muda, yang biasanya genus Lymnaea rubiginosa. Di dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang. Pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista.



Ternak Rentan
Ternak yang rentan terhadap Fasciolosis adalah sapi, kerbau, kambing dan ruminansia lain. Ternak berumur muda lebih rentan daripada ternak dewasa.

Gejala Klinis
Pada Sapi penderita akan mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi atau sulit defekasi dengan tinja yang kering. Pada keadaan infeksi yang berat sering kali terjadi mencret, ternak terhambat pertumbuhannya dan terjadi penurunan produktivitas. Pada Domba dan kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan kematian mendadak dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada infeksi yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak malas, tidak gesit, nafsu makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang bawah yang disebut “bottle jaw”, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa sakit serta ternak kurus dan lemah.

Kelainan Pasca Mati
Pada kasus akut akan ditemukan pembendungan dan pembengkakan pada hati, terdapat ptechie pada permukaan maupun sayatan hati, kantong empedu dan usus mengandung darah. Pada kasus kronis, terlihat saluran empedu menebal dindingnya, mengandung parasit dan seringkali batu, disamping itu ditemukan pula anemia, kekurusan dan hati mengeras (sirosis hati).
Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, identifikasi telur cacing di bawah mikroskop dan pemeriksaan pasma mati dari ternak yang mati.

Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain memberantas siput secara biologik, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak jangan digembalakan di dekat selokan (genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar selokan.


Pengobatan
Pengobatan secara efektif dapat dilakukan dengan pemberian per oral Valbazen yang mengandung albendazole, dosis pemberian sebesar 10 - 20 mg/kg berat badan, namun perlu perhatian bahwa obat ini dilarang digunakan pada 1/3 pertama kebuntingan, karena menyebabkan abortus. Fenbendazole 10 mg/kg berat badanatau lebih aman pada ternak bunting. Pengobatan dengan Dovenix yang berisi zat aktif Nitroxinil dirasakan cukup efektif juga untuk trematoda. Dosis pemberian Dovenix adalah 0,4 ml/kg berat badan dan diberikan secara subkutan.Pengobatan dilakukan tiga kali setahun.

Diagnosis Banding
Penyakit Anthrax sering kali mirip dengan haemonchosis. Diagnosis terhadap Anthrax diteguhkan jika terlihat perdarahan dari hidung dan anus pada infeksi akut kambing dan domba. Pada Haemonchosis, diagnosis didasarkan pada terlihatnya gejala “bottle Jaw”.

2. Nematodosis

Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan oleh induk semang, menghisap darah/cairan tubuh atau bahkan memakan jaringan tubuh. Sejumlah besar cacing Nematoda dalam usus bias menyebabkan sumbatan (obstruksi) usus serta menimbulkan berbagai macam reaksi tubuh sebagai akibat toksin yang dihasilkan. Pada ternak ruminansia telah diketahui lebih dari 50 jenis spesies, tetapi hanya beberapa spesies yang mempunyai arti penting secara ekonomis, antara lain rebagai berikut :

a. Haemonchus contortus
Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus disebut “Haemonchosis”. Panjang cacing Haemonchus contortus betina antara 18 – 30 mm dan jantan sekitar 10 – 20 mm. Pada cacing betina secara makroskopis usus yang berwarna merah berisi darah saling melilit dengan uterus yang berwarna putih. Cacing dewasa berlokasi di abomasum domba dan kambing.

Siklus Hidup
Siklus hidup Haemonchus contortus dan Nematoda lain pada ruminansia bersifat langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum, memproduksi telur. Telur dikeluarkan oleh ternak bersama-sama pengeluaran feses. Di luar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai, telur menetas dan menjadi larva. Larva stadium L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3 , yang merupakan stadium infektif. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan teringesti oleh domba. Selanjutnya larva akan dewasa di abomasum.
Kerugian
Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia. Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap akut, tahap II, antara 3 – 8 minggu setelah infeksi, kehilangan darah dan zat besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III, terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang disebabkan oleh kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.
Gejala Klinis
Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus bersamaan dengan kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di bawah rahang , diare, tapi kadang-kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain yang menonjol, yaitu : penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek dan penurunan produksi susu.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi telur-telur cacing di bawah mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan membantu penetapan diagnosis.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.


Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi.

b.Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum)
Cacing Toxocara vitulorum termasuk klas Nematoda yang memiliki kemampuan lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing betina adalah sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan dengan telur agak bulat dab memiliki dinding yang tebal. Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil.
Siklus Hidup
Telur dalam tinja tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi larva. Larva kemudian bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan bisa ke plasenta dan masuk ke cairan amnion serta masuk ke dalam kelenjar mammae dan keluar bersama kolustrum.
Cara Penularan
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu menyusu induknya.
Gejala Klinis
Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan.
Diagnosis
Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya cacing ini.



Pengobatan dan pencegahan
Upaya pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin. Pengobatan secara teratur pada anak sapi dan menjaga kebersihan kandang merupakan tindakan pencegahan yang diharuskan.

c. Oesophagostomum sp.(cacing bungkul)
Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing bungkul karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus besar.
Morfologi:
Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan
antara 11,2 – 14 5 mm.
Gejala klinis
  • kambing kurus
  • nafsu makan hilang
  • pucat
  • anemia
  • kembung
  • Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah segar.

d. Bunostomum sp (cacing kait)
Lokasi hidup cacing kait adalah di dalam usus halus kambing dan domba. Panjang cacing jantan kira-kira 12 – 17 mm dan betina kira-kira 19 – 26 mm. Dikenal dengan cacing kait karena pada bagian ujung depan (kepala) cacing membengkok ke atas sehingga berbentuk seperti kait.
Gejala klinis
Bisa diamati antara lain ternak mengalami anemia, terlihat kurus, kulit kasar, bulu kusam, napsu makan turun, tubuh lemah. Tinja lunak dengan warna coklat tua. Perlu diketahui bahwa cacing Bunostomum sp menempel kuat pada dinding usus. Cacing memakan jaringan tubuh dan darah, sehingga walaupun jumlah cacing hanya sedikit, namun ternak cepat menunjukkan gejala klinis yang nyata.

e. Trichostrongylus sp (cacing rambut)
Cacing kelompok ini ukurannya sangat kecil dan hidup di dalam usus halur kambing dan domba. Dinamakan caing rambut karena tebalnya kurang lebih sama dengan rambut, sedangkan panjangnya kurang dari 10 mm. Telur cacing yang keluar bersama tinja akan berkembang menjadi larva apabila suasana di luar, seperti kelembaban, suhu, oksigen cukup menguntungkan bagi kehidupannya, misalnya adanya tumpukan feses. Pada keadaan tersebut larva akan berkembang menjadi larva infektif. Di tempat penggembalaan larva dapat hidup sampai 6 bulan. Kepekaan ternak terhadap serangan cacing ini tergantung beberapa faktor, antara lain umur, kualitas pakan, genetic dan pengaruh luar, misalnya pemberian obat-obatan. Kambing muda dan kualitas pakan yang jelek akan lebih peka terhadap serangan cacing.
Cara Penularan
Ternak bisa tertular cacing ini dengan cara menelan telur berembrio yang terdapat
di rumput-rumputan atau dengan cara menelan larva infektif atau larva menembus kulit.
Gejala klinis yang bisa diamati
  • ternak muda terlihat pertumbuhan terhambat
  • mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian.
Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap penyakit nematodosis, antara lain:
  • Berupa pemberian pakan kualitas tinggi dengan kuantitas yang cukup
  • menghindarkan berjubelnya ternak dalam satu petak penggembalaan
  • memisahkan ternak berdasarkan umur
  • menghindarkan ternak dari tempat-tempat becek
  • selalu memelihara kebersihan kandang dan lingkungan peternakan dan melakukan pemeriksaan feses dan pengobatan terhadap cacing secara teratur.

3. Cestodosis
Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang kambing. Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan lebar 1 – 6 cm. Bentuk cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih kekuningan. Cacing ini jarang menimbulkan masalah, kecuali jika menyerang anak kambing yang sangat muda dan dalam jumlah yang besar. Tungau digunakan sebagai inang antara bagi cacing.
Siklus Hidup
Cacing pita dewasa hidup dalam usus kambing dan domba akan melepaskan segmen yang masak bersama tinja, segmen tersebut pecah dan melepaskan telur . Telur-telur cacing dimakan oleh tungau tanah yang hidup pada akar tumbuhan. Telur-telur dalam tubuh tungau menetas menjadi larva. Kambing/domba memakan tungau bersama-sama akar tanaman, seingga larva akan tertelan dan tumbuh menjadi dewasa di usus.
Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada kambing penderita, antara lain:
  • badan kurus
  • bulu kusam
  • selaput mata terlihat pucat
  • anemis
  • terdapat gejala edema dan mencret
  • biasanya potongan segmen yang matang keluar bersama tinja atau kadang menggantung di anus.
Diagnosis
Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan segmen cacing bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup memberikan petunjuk adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing. Apabila potongan cacing tidak ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan pemeriksaan telur cacing di bawah mikroskop.
Pencegahan
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan pemberantasan terhadap insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang antara.
Pengobatan
Bisa diberikan preparat obat, antara lain :
  • Vermix, oxfendazole 5 mg/kg berat badan
  • cambendazole 20 – 25 mg/kg berat badan
  • fenbendazole 5 – 10 mg/kg berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan.



Artikel BUMI PETERNAKAN WAHYU UTAMA


drh.Ike Yuniarni dan Sugeng Berenergy S.Farm Apt
Read More..

Inseminasi Buatan Pada Ternak


Perkembangan teknologi khususnya di bidang biologi reproduksi akhir-akhir ini telah memberikan kontribusi positif terhadap subsektor peternakan. Terdorongnya sektor peternakan ini secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik peternak itu sendiri maupun masyarakat konsumen produk ternak. Berbagai aplikasi bioreproduksi memungkinkan manusia untuk memanipulasi aspek-aspek reproduksi hewan ternak sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hewan ternak sesuai dengan yang diharapkan.

Salah satu aplikasi bio reproduksi yang paling umum adalah inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik. Pengolahan semen untuk IB sangat diperlukan terutama berkaitan dengan keterbatasan bibit pejantan unggul serta faktor geografis yang jauh dan sulit diakses. Untuk mensiasati hal itu maka semen dari pejantan-pejantan unggul yang telah dikoleksi ditambahkan bahan pengencer dan dikemas dalam kemasan khusus. Bahan pengencer diperlukan sebagai media pengawetan sementara setelah penampungan spermatozoa yang berkualitas baik sehingga daya fertilisasinya dapat optimal pada saat dilanjutkan kepada IB. Larutan pengencer harus dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun kimiawi spermatozoa.

A. Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.

Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci.

Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal. Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi.

Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan.

Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.

Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba.

Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey.

Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0C.

B. Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia

Inseminasi Buatan (IB) pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.

Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.

Di Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.

Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.

Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970, mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.

Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.

Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.

Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.

Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.

Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.

C. Tujuan, Keuntungan dan Kerugian Insemiasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.

Tujuan Inseminasi Buatan
  1. Memperbaiki mutu genetika ternak;
  2. Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya ;
  3. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
  4. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
  5. Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan IB
  1. Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
  2. Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
  3. Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
  4. Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama;
  5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati;
  6. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;
  7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kerugian IB
  1. Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi kebuntingan;
  2. Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil;
  3. Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
  4. Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).



Daftar Pustaka:

Bearden, HJ and Fuquay JW, 1984. Applied Animal Reproduction. 2ndEdition. Reston Publishing Company,      Inc. A Prentice-Hall Company. Reston. Virginia.

Evans G and MaxwelI WMC, 1987. Salamon’s Artificial Insemination of Sheep and Goats. Butterworths. Sydney.

Foote RH, 1980. Artificial Insemination. In Reproduction in Farm Animal 4thEdition. Hafez, E.S.E. (Ed.). Lea and Febiger. Philadelpia.

Hafez ESE, 1993. Reproduction in Farm Animai. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelpia

Salisbury, G.W dan N.L. Vandemark, 1985, Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi, diterjemahkan R. Djanuar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Toelihere MR, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

—————–, 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.



Artikel Bumi Peternakan Wahyu Utama
http://peternakanwahyuutama.blogspot.com
facebook : bumi peternakan wahyu utama
drh. Ike Yuniarni dan Sugeng Berenergy S.Farm Apt

Read More..

Kembung (BLOAT) Pada Ternak Sapi



  1. ETIOLOGI
Penyakit kembung (Timpani) merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang ternak ruminansia terutama sapi dan domba. Meskipun terlihat sepele, sebaiknya kita selalu waspada, karena pada kasus yang berat dapat berakibat fatal dan kematian pada ternak. Timpani pada ternak dapat diakibatkan oleh banyak faktor. Namun secara garis besar, timbulnya kembung disebabkan oleh akumulasi gas yang berlebihan di dalam rumen hewan ruminansia. Seperti kita ketahui, pencernaan bahan makanan di dalam perut hewan ruminansia dilakukan oleh mikroorganisme di dalam perut ternak. Mikroorganisme yang secara alamiah ada di dalam perut yang bertugas melakukan pencernaan awal terhadap bahan makanan dan terutama protein. Proses pencernaan protein oleh mikroorganisme ini akan menghasilkan berbagai enzim dan asam amino yang dapat diserap oleh dinding usus ternak. Tanpa adanya mikroorganisme ini dapat dipastikan proses pencernaan makanan di dalam perut ternak tidak akan dapat terjadi. Namun di sisi lain, proses pencernaan bahan makanan oleh mikroba juga mengeluarkan eksreksi lain berupa gas yang sebagian besar adalah karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas inilah yang apabila tidak sempat dikeluarkan melalui anus dengan cara berkentut atau dengan bersendawa akan terakumulasi didalam rumen. Seringkali kembung ringan seperti ini dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, apabila kejadian berlanjut dan tidak ditangani maka akumulasi gas terjebak ini akan membentuk buih/busa (froathy bloat) yang akan semakin sulit bagi ternak untuk mengeluarkannya.
Perut kembung atau timpani adalah suatu keadaan mengembangnya rumen akibat terisi oleh gas yang berlebihan. Hal ini terjadi ketika esophagus mengalami sumbatan sehingga menghambat pengeluaran gas. Produksi gas yang cepat (CO2 dan CH4) sebagai hasil akhir fermentasi akan memicu terjadinya kembung. Kondisi ini dikaitkan dengan tingginya konsentrasi protein terlarut yang terdapatdi dalam rumen. Gas yang terbentuk akan menetap di rumen dalam bentuk gelembung-gelembung kecil yang tidak merangsang terjadinya reflek bersendawa sehingga rumen mengembung.
Timpani merupakan indigesti akut yang disertai dengan penimbunan gas di dalam rumen dan retikulum ruminansia yang penuh berisi gas (CO2 dan CH4) sebagai hasil akhir fermentasi yang berlebihan yang berasal dari proses pencernaan di dalam lambung. Hal ini terjadi ketika esophagus mengalami sumbatan sehinfga menghambat pengeluaran gas. Timpani disebabkan oleh penyebab primer dan penyebab sekunder. Penyebab primer adalah akibat dari fermentasi makanan yang berlebihan kemudian hewan tidak mampu mengeluarkan gas, sehingga gelembung-gelembung gas akan terakumulasi yang merupakan penyebab kembung. Sedangkan penyebab sekunder berupa gangguan yang bersifat fisikal yang terjadi pada daerah esophagus yang disebabkan oleh benda asing, stenosis atau tekanan dari perluasan jalan keluar esophagus. Makanan yang difermentasi misalnya hijuan segar yang banyak  mengandung air dan berprotein tinggi. Hijuan leguminosa mudah berfermentasi dan mengeluarkan gas. Oleh karena itu, pemberian hijauan leguminosa segar yang berlebihan dapat menyebabkan timpani. Pemberiaan makanan konsentrat yang terlalu banyak pula dapat menyebabkan timpani, terutama konsentrat yang mulai busuk. Rumput basah atau berembun dapat juga menjadi penyebab perut kembung. Timpani biasanya terjadi pada sapi, kerbau dan kambing.
  1. PATOGENESIS
Pada ruminansia (sapi) timpani biasa disebabkan karena konsumsi leguminosa yang banyak atau gangguan dalam esophagus dan alat tubuh lain. Faktor yang mendorong terjadinya timpani antara lain viskositas dan tegangan permukaan cairan rumen, aliran dan susunan air liur dan aktivitas mikroba. Air liur mengandung protein mucin yang mencegah terjadinya timbulnya busa pada air liur. Penguraian protein tersebut yang mungkin terjadi karena aktivitas bakteri menimbulkan terbentuknya busa dalam rumen. Banyaknya air liur juga berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya timpani. Sapi dengan air liur yang sedikit lebih beresiko. Aktivitas mikroba akibat peningkatan jumlah sukrosa dalam rumen juga memiliki pengaruh dalam pembentukan gas. Metabolisme sukrosa oleh bakteri menghasilkan gas yang akan terperangkap dalam biofilm yang terbentuk oleh bakteri tersebut, sehingga menjadi gelembung yang memenuhi rumen. Dalam kondisi normal, kelebihan gas pada rumen akan dikeluarkan melalui mekanisme eruktasi. Gangguan pada reflek eruktasi menyebabkan tidak bisa keluarnya gas dari rumen, sehingga terjadi timpani.
Gangguan reflek eruktasi berkaitan dengan gangguan pada esophagus dan alat tubuh lain. Saat terjadi penumpukan gas, rumen bereaksi dengan kontraksi yang lebih sering dan lebih kuat dari keadaan normal. Karena kecepatan pembentukan gas melebihi kemampuan rumen untuk mengeluarkan ditambah dengan gangguan eruktasi menyebabkan penumpukan gas yang banyak. Kekuatan kontraksi rumen juga akan menurun dan mungkin hilang tonusnya. Volume rumen akan terus membesar karena gas yang terbentuk semakin banyak. Rumen akan mendesak ke arah rongga dada dan menimbulkan gangguan pernafasan. Dari titik tersebut kematian bisa terjadi jika tidak ditangani.

C. GEJALA KLINIS
1. Ternak nampak resah
2. Ada rasa sakit
3. Sisi perut sebelah kiri nampak menonjol (membesar) disbanding normalnya,
4. Bila perut ditepuk-tepuk mirip suara drum
5. Tekanan intra rumen mengakibatkan :
Pembesaran abdomen atau rumen, membesarnya rumen akan meningkatkan tekanan di dalam rongga perut dan rongga dada sehingga menyebabkan kesulitan bernafas yang ditandai dengan pernafasan dada yang cepat dan dangkal. Sebaliknya, paru-paru dan sistem peredaran darah jantung tidak bekerja. Apabila kondisi ini berlanjut maka akan terjadi gangguan peredaran darah dan kematian dalam beberapa menit.
6.   Hewan tampak gelisah
7.   Berbaring pada posisi bagian kanan bawah.
8.   Pulsus nadi meningkat, terdengar eruktasi
9.   Mata merah, namun segera berubah menjadi kebiruan yang menandakan adanya kekurangan oksigen dan mendekati kematian.
10.  Angka kematian dapat mencapai 90% jika tidak tertolong
11.  Ternak cenderung menendang dengan kaki belakang.

  1. PENYEBAB
Penyebab perut kembung antara lain: 
1. Pemberian leguminosa (kacang-kacangan) secara berlebihan. Daun legum yang mengandung kadar air dan protein yang tinggi menghasilkan asam-asam yang tidak mudah menguap seperti sitrat, malat dan suksinat. Asam-asam ini akan segera menurunkan pH rumen dalam waktu 30-60 menit pasca pemberian daun legum.
2.   Pemberian rumput terlalu muda secara berlebihan atau karena tidak dilayukan.
3.   Adanya sumbatan pada kerongkongan, selain itu bloat dapat juga terjadi pada ternak yang pergerakannya terbatas.
4.   Merumput pada lahan yang baru dipupuk, makan buah terlalu banyak, memakan racun dan ubi atau tanaman sejenis yang dapat menahan keluarnya gas dari perut.

E. PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI 
Penyakit kembung perut yang diderita sapi, dapat menyebabkan kematian karena struktur organ sapi yang unik. Dimana pada sapi, jantungnya terletak disebelah kanan perut, bukan dibagian dada seperti halnya manusia. Hal tersebut akhirnya menyebabkan jantung sapi terhimpit oleh angin dan asam lambung saat menderita kembung. Karena kembung yang terjadi, mendesak dan mengakibatkan perut sapi membesar ke samping. Secara umum apabila di bedah akan terjadipembesaran pada perut bagian kiri atas dan cukup keras, bila ditepuk akan terasaada udara dibaliknya, dan berbunyi seperti tong kosong. Dalam seksi ditemukan kolon dan sekum yang mengalami distensi dengan dindingnya yang berwarna pucat kebiruan. Apabila penimbunan gas disebabkan oleh obstruksi, penyebab obstruksi akan ditemukan.
F. DIAGNOSA
Untuk mendiagnosa Timpani bisa dilakukan beberapa cara :
  1. Berdasarkan gejala klinis
Pada dasarnya tidak sulit untuk melakukan diagnosa timpani karena pada penderita timpani gejala yang tampak sangat jelas dan mudah dikenali, terutama adanya pembesaran lambung di daerah fossa paralumbalis.
  1. Pemeriksaan abdomen (Inspeksi, Auskultasi, Palpasi, Perkusi)
  • Pada pemeriksaan abdomen yang pertama dilakukan adalah Inspeksi dengan mengamati perubahan-perubahan pada bagian abdomennya. Hal yang mudah dikenali adalah adanya pembesaran abdomen sebelah kiri. Meski sesuai susunan anatominya abdomen sebelah kiri memang lebih besar daripada abdomen sebelah kanan, namun pada penderita timpani abdomen sebelah kirinya akan lebih besar dari normal dan terasa keras.
  • Selanjutnya dilakukan auskultasi, dengan cara menekankan stetoskop pada bagian fossa paralumbalis. Pada ruminansia penderita Timpani saat dilakukan auskultasi tidak terdengar adanya kontraksi dari rumen ataupun suara gemericik (gurgling) seperti halnya pada ruminansia normal. Palpasi dilakukan dengan cara menekankan kepalan tangan ke daerah fossa paralumbalis. Saat ditekan inilah akan terasa bahwa abdomen penderita timpani terasa sangat keras dan tegang yang disebabkan penimbunan gas pada bagian rumennya sehingga menekan rongga abdomen untuk lebih membesar. Kemudian masih dengan cara yang sama yakni dengan menekankan kepalan tangan ke fossa paralumbalis, hitung frekuensi pergerakan/motilitas rumen dan tonus rumen. Pada ruminansia yang menderita timpani motilitas rumen dan tonus rumennya akanmengalami penurunan.
3. Catatan pemberian pakan dan penggembalaan.
4. Memasukkan Stomach Tube ke dalam rumen.
Cara yang terakhir ini berfungsi untuk membedakan apakah hewan menderita bloat atau timpani. Jika saat Stomach Tube sudah dimasukkan ke dalam rumen dan yang keluar adalah isi rumen dengan konsistensi berbusa maka bisa dipastikan bahwa hewan tersebut menderita Timpani.
G. DIAGNOSA BANDING
a.Peritonitis atau infeksi pada rongga abdominal
b.Water belly atau pecahnya kandung kemih
c.Bunting tua
d.Akumulasi cairan abnormal dalam uterus selama kebuntingan
e.Displacement abomasum kiri atau kanan
f.Vagal indigestion
g.Intestinal volvulus (twisted intestines)
h.Ascites (akumulasi cairan di dalam rongga peritoneal) atau pneumoperitoneum (akumulasi udara di dalam rongga peritoneal). 
H. PROGNOSA
Ramalan kelanjutan penyakit biasanya tidak menguntungkan penderita atau dapat mengaibatkan kematian jika lambat dilakukan pertolongan ataupun bersifat fausta-infausta.
  1. TERAPI

A.Trokarisasi
Pertolongan untuk mengurangi distensi perlu segera diberikan. Trokarisasi dengan trokar dilakukan pada bagian perut yang mengalami tingkat destensi paling besar sebelah kanan atau kiri. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan desinfeksi secukupnya. Kadang pembebasan gas dengan trokar mengundang resiko terjadinya peritonitis.
Gas dikeluarkan dengan cara menusukkan cannula pada perut ternak bagian sebelah kiri langsung pada rumen. Supaya tepat, tandai perut sapi dengan menggunakan gambar segitiga yang menghubungkan titik tulang pinggul, titik rusuk akhir dan titik transverssus processus, tusukan cannula tepat dititik tengah segitiga ke dalam rumen melewati peritoneum. Pengeluaran gas dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara menarik trocar perlahan-lahan agar isi rumen tidak tersedot keluar dan menyumbat pipa trocar.
Setelah gas dapat dibebaskan segera dimasukkan obat- obat antizymotik antara lain formalin atau chloroform sebanyak 30 ml, minyak terpentin 15-30 ml,sediaan yodium atau obat merah secukupnya. Obat-obat Antyzomotic ini yang akan menurunkan proses fermentasi mikroba, sehingga jumlah gas (frothy bloat) secara berangsur-angsur turun. Apabila gas telah di bebaskan, pemeriksaan rectal selanjutnya dapat membantu menentukan ada tidaknya obstruksi.
Pemberian laksansia rigan misalnya minyak mineral 2-4 L dapat menimbulkan peristaltic lagi serta melicinkan jalanya pengeluaran tinja. Untuk mengurangi rasa sakit pemberian aspirin atau dipyrone (Novin) 50%, 10- 20 mldapat dipertimbangkan. Obat-obat suportif lain, misalnya penguat jantung dancairan elektrolit dapat diberikan bila dipandang perlu.

B. Stomach Tube
Stomach tube merupakan metode yang banyak digunakan untuk mengeluarkan gas dan tekanan dari rumen karena lebih aman dan trauma yang ditinggalkan pada hewan relatif kecil. Stomach Tube (ukuran standart = diameter dalam 1.5-2.0 cm) dimasukkan melalui mulut dengan bantuan spekulum logam untuk mencegah hewan mengunyah tubenya. Kerja dari Stomach Tube ini relatif cepat yaitu sekitar 1 menit.

C.Secara Medis
1.Anti Bloat (bahan aktif: Dimethicone).
  • Dosis sapi/ kerbau: 100 ml obat diencerkan dengan 500 ml air,
  • Kambing/ domba: 25 ml obat diencerkan dengan 250 ml air, kemudian diminumkan. 
  1. Dimethicone bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan, sehingga gelembung-gelembung gas dalam rumen terurai menjadi gelembung-gelembung kecil kemudian bergabung sehingga dapat dikeluarkan dari saluran pencernaan.
  2. Wonder Athympanicum
  • Dosis: sapi/ kerbau: 20 – 50 gram,
  • Kambing/ domba: 5 – 20 gram, dicampur air secukupnya, kemudian diminumkan. 

    4. BAKAZHA OIL
    Dosis Untuk Sapi : 150 ml – 300 ml
        Dosis Untuk Kambing : 15 ml -30ml

D. PENCEGAHAN
1. Pemberian pakan sesuai aturan, misalnya komposisi rumput danleguminosa yang benar
2. Hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu
3. Jika ada ternak yang kembung, upayakan untuk tetap berdiri atau bergerak
4. Jika mungkin mulut tetap terbuka atau tetap usahakan
5. Mengunyah supaya air liur keluar, misalnya dengan ikatkan tali atau kayu dalam
mulut supaya ternak mengunyahnyadan air liur keluar
6. Selama musim hujan sebaiknya ternak diberi pakan kasar sebelum dilepas di padang
penggembalaan yang basah
7.Ternak jangan digembalakan terlalu pagi ketika rumput masih basah dan hindari
memberi ternak dengan rumput atau daun-daun muda dan tanaman leguminosa
(kacang-kacangan)
8. Jangan membiarkan ternak terlalu lapar
9. Jangan memberikan makanan yang sudah rusak/busuk/berjamur
10. Hindari pemberian rumput/ hijauan yang terlalu banyak, lebih baik  memberikan
sedikit demi sedikit tetapi sering kali. 
 
Sumber:
Blowey RW. 2004. Digestive Disorders of Calves. Andrews AH, Editor: Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle Second edition. State Avenue: Blackwell Publishing Company


Artikel asli Bumi Peternakan Wahyu Utama


drh. Ike Yuniarni dan Sugeng Berenergy S.Farm Apt
Read More..