Gebrakan Dahlan Iskan tidak hanya berhenti di sektor energi Listrik, polemik Impor Gula dan Jalan Tol, tetapi ternyata merangsek masuk juga di sektor peternakan. Ketika berkunjung di Yogyakarta menjadi pembicara pada sebuah seminar “Pemimpin Muda Belajar Merawat Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 29 Maret 2012, sedikit menyinggung masalah pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan.
Meski hanya sekilas namun nampaknya menteri yang penuh dengan kejutan dan gebrakan ini, begitu memahami benar akan basis kuat Negara Indonesia adalah harus bertumpu pada bidang agraris. Ia mencontohkan di negeri Cina yang dikenal dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, bahwa petani begitu diperhatikan kesejahteraannya. Meskipun lahan pertanian yang digarap oleh petani di Cina hanya merupakan pinjaman dari Negara, dan petani hanya sebagai penggarap, namun toh jauh dari sejahtera di banding dengan petani Indonesia.
Indonesia memang tidak menganut paham sosialisme yang menguasai tanah dan hasil tambang oleh Negara, namun jika menilik dan merujuk kepada pasal 33 UUD 1945 (Amandemen) bahwa semangat untuk mensejahterakan warga Negara juga nyaris mirip sekali. Pada pokok substansinya amanat Konstitusi Indonesia, bahwa tanah dan hasil bumi yang berada di dalamnya di kelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Berbicara tentang basis kuat dan tumpuan pembangunan Indonesia, yang seharusnya dipilih menurut mantan pimpinan perusahaan raksasa media Jawapos Grup ini, tiada lain memang bidang pertanian. Untuk itu, Dahlan merasa sangat heran sekali kenapa Indonesia harus impor daging dan ternak sapi, jika potensi dan sumber daya alam yang ada sebenarnya mampu dioptimalkan.
Ia pertama menggebrak perusahaan bibit padi PT Sang Hyang Sri untuk meningkatkan produksi bibit dan kualitasnya. Kemudian dilanjutkan dengan merevitalisasi PT Berdikari. Seperti kita ketahui, bahwa perusahaan itu didirikan sebenarnya untuk mengembangkan peternakan sapi di Indonesia. Namun justru kini lebih banyak bergerak di usaha mebel dan pariwisata. Akhirnya ujar Dahlan di depan peserta seminar, ia perintahkan menutup usaha yang tidak terkait dengan misi dan tujuan didirikannya Perusahaan itu, dan kini kembali beralih ke sektor peternakan sapi.
Menurut Dahlan, sangat tidak masuk akal jika keluhan ketersediaan pakan untuk ternak sapi di Indonesia tidak mencukupi. Sebab perusahaan perkebunan Negara yaitu PTP misalnya, banyak tersedia lahan kosong yang infrastrukturnya sudah tersedia dengan baik. Akan tetapi lahan sela yang kosong itu tidak dimanfaatkan, bahkan limbah perkebunan sawit, kopi, teh dan nanas, serta cengkeh belum dimanfaatkan secara optimal.
Maka PT Berdikari kini menurut Dahlan, harus fokus dan serius menggarap usaha peternakan sapi. Untuk tahun 2012 ini Dahlan menugaskan kepada PT Berdikari agar mampu memasok 100.000 ekor sapi bagi kepentingan domestik. Impor daging dan ternak sapi harus segera di akhiri, jelas Dahlan. Kemudian tahun 2013 mendatang menurutnya target nya 250.000 ekor sapi.
Menurut Dahlan, keluhan tiadanya infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi di kawasan PTP pada saat ini sudah tidak pantas dikeluhkan oleh para investor plat merah maupun swasta, khususnya BUMN yang bertugas di sektor pertanian.
Dahlan menjelaskan bahwa kawasan perkebunan yang dikelola oleh Negara (misalnya PTP) umumnya adalah peninggalan kolonial Belanda dan sebagian kecil hasil pembangunan bangsa Indonesia pasca merdeka, merupakan kawasan yang sudah sangat mapan kesediaan infrastrukturnya. Mulai dari jalan raya yang relatif panjang dan memadai menuju kota pelabuhan, jaringan irigasi yang tersedia sudah tertata representatif serta tersedianya pasokan energi listrik yang mandiri. Selain itu sebagai kota satelit, kawasan perkebunan selalu melimpah tersedia tenaga kerja yang handal dan juga tersedianya lahan maupun limbah perkebunan untuk ternak sapi.
Hanya sayangnya memang paparan sepintas namun cukup mendalam itu, tidak mendapat tanggapan dari peserta yang sebagian besar adalah civitas akademika fakultas hukum. Maka menjadi menarik jika ASOHI, GOPAN atau ISPI maupun PDHI mengagendakan sebuah pertemuan khusus yang membahas masalah pembangunan peternakan dengan menteri yang memang konsern terhadap potensi domestik. Alangkah kecewanya jika kemauan mulia dan ide Dahlan ini tidak mendapat sambutan dari para pelaku usaha peternakan dalam negeri.
Momentum menarik ini memang harus segera direspon oleh organisasi profesi peternakan dan para pelaku usahanya. Kita patut menunggu siapa yang lebih dahulu memulai ! Apakah ASOHI memulai lebih dahulu? Atau malah ISPI dan PPSKI? (iyo)