Produksi daging sapi meskipun menduduki rangking kedua setelah produksi daging unggas, tetapi sampai saat ini masih belum mampu memenuhi tuntutan kebutuhan daging secara keseluruhan. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas peternakan rakyat adalah peternak masih berpikiran beternak adalah usaha sambilan. Peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang ternak yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern. Usaha perbaikan yang perlu ditempuh adalah perbaikan tatalaksana budidaya mulai dari pemilihan bibit, pakan, pemeliharaan sampai pakan termasuk di dalamnya manajemen kesehatan. Serta sikap proaktif peternak harus dalam menyikapi perilaku dan siklus hidup cacing. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria (stadium infektif cacing) dapat diminimalisir.
Aktifitas masyarakat di Hari Raya Idul Adha
Menjelang Hari Raya Idul Adha, masyarakat perlu mewaspadai penyakit cacingan yang diderita pada hewan kurban. Hewan yang penampilan luarnya bagus, ternyata setelah dipotong banyak organ dalamnya yang rusak dan tidak layak konsumsi. Pasalnya, penyakit cacingan tersebut sulit terdekteksi hanya dari penampilan luar tubuh sapi. Parasit tersebut baru bisa terlihat jelas setelah ternak dipotong dan diperiksa organ hatinya. Cacing hati yang menyerang pada ternak adalah cacing Fasciola sp, -di Indonesia terdapat dua spesies cacing Fasciola sp. yaitu Fasciola Hepatica dan Fasciola Gigantica- merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk kelas Trematoda (cacing pipih/cacing daun), biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. Bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa panjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala dan batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam kantong usus dengan satu lubang sederhana sebagai mulut dan sekaligus anus. Cacing Fasciola sp dewasa dapat bertahan hidup di dalam hati ternak ruminansia antara 1-3 tahun. Penyakit yang disebabkan karena infestasi cacing ini disebut Fasiolasis atau Distomatosis. Telur cacing keluar dari tubuh ruminansia bersama dengan feses hewan yang terkena Fasiolasis, menempel di tumbuhan air atau rumput-rumput basah yang lembab dan telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan. Telur Fasciola hepatica berukuran ± 140x80 mikron, operculum kecil, berisi morula, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur cacing Fasciola hepatica akan menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C. Sedangkan telur cacing Fasciola gigantica akan menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Telur akan menetas mengeluarkan mirasidium, dan umumnya terjadi pada siang hari. Mirasidium keluar, berenang-renang mencari siput air, dan dalam tubuh siput air terjadi perkembangan. Suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat aktif berenang di dalam air untuk mencari hospes perantara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp. Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera setelah mirasidium tersebut menemukan siput, maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan menembus masuk ke dalam tubuh siput. Selama jangk waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola sp. akan menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.
Delapan hari kemudian sporosis akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan tulnbuh menjadi 1-6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. Serkaria memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan berenang, kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria keluar dari siput air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola sp., sehingga bila ada hewan ternak pemakan rumput, jerami atau tumbuhan air yang terkontaminasi metaserkaria, akan tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C, metaserkaria dapat bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati dan tidak infektif lagi. Serkaria keluar dari tubuh siput sudah mengalami perkembangan sempurna memiliki faring, lubang usus, silia yang lebih panjang, mulut dan penghisap ventral sehingga menempel pada rumput. Bila tertelan, metaserkaria menetas menjadi larva dalam lambung hewan, sesampainya di usus berkembang menjadi larva muda, menembus dinding usus sampai ke hati melalui aliran darah, mengendap di dalam hati sampai enam minggu, dan setelah dewasa larva migran ke saluran empedu. Di dalam saluran empedu, cacing dewasa bertelur, dan telur menuju saluran pencernakan melalui pembuluh darah.Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam hospes. Hospes perantara yaitu siput air dan yang kedua Hospes menetap,yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan domba.
Fasiolasis ditularkan pada waktu ternak memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi cemaran telur cacing dan dapat juga secara trans placenta ( dari induk ke anak jika hewan terserang saat keadaan bunting). Menyerang pada ternak – terutama ruminansia, lebih rentan tertular cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya, khususnya ternak yang berumur muda - yang dipelihara dengan tata laksana kurang baik, dan tingkat keparahan penyakit - terkadang hingga terjadi kematian - terjadi jika cacing mulai menyerang jaringan hati sehingga memicu kerusakan organ lain.
Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita. Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.
Fasciola Hepatica hidup di usus ternak dan memproduksi banyak telur. Masalah ini biasa terjadi pada musim hujan karena memang siklus hidupnya memerlukan kondisi lingkungan yang basah - bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab -. Yang tidak kalah penting adalah perlunya kewaspadaan terhadap kehadiran siput air tawar yang menjadi hospes perantara cacing hati sebelum masuk ke tubuh ternak dan melakukan rotasi pada padang penggembalaan.
Ternak sapi mempunyai prevalensi yang tinggi karena sapi yang banyak dipelihara secara ekstensif, dimana sapi mencari rumput sendiri sehingga tidak menjamin kuantitas maupun kualitas pakan sesuai kebutuhannya. Kekurangan pakan akan menyebabkan ternak mengalami malnutrisi. Sapi yang memperoleh makanan yang cukup dan bermutu baik akan lebih resisten terhadap infeksi cacing. Sebaliknya sapi yang mengalami malnutrisi akan lebih peka. Kerugian ekonomi yang diderita akibat infeksi cacing berupa perkembangan tubuh ternak terhambat atau kurus, sedangkan pada sapi dewasa kenaikan berat badan tidak tercapai, organ tubuh rusak dan kualitas karkas jelek, menurunnya fertilitas dan predisposisi penyakit metabolik.
Gejala klinis yang sering nampak adalah turunnya nafsu makan sehingga berat badan turun, pertumbuhan lambat, produksi susu menurun, kurus dan lemah, kurang darah (anemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret, keadaan mata suram, cekung, mengantuk, telinga terkulai, nafsu makan berkurang, minumnya sedikit dan lambat, kotoran sedikit, mungkin diare atau kering dan keras, badan panas, detak jantung dan pernapasan tidak normal, badan semakin kurus, berjalan sempoyongan, kulit tidak elastis, bulu kusam, mulut dan hidung kering, temperatur tubuh naik turun.
Pada pemeriksaan post mortem, warna hati sapi menjadi lebih pucat, terdapat beberapa keropeng di permukaan, struktur lembek dengan sisi yang tumpul dan konsistensinya rapuh. Pada hati tersebut ditemukan lubang kecil-kecil bekas pergerakan cacing. Nampak ada bercak putih, penebalan dan pengapuran di sekeliling permukaan hati dan bila hati dibelah kemudian diidentifikasi akan terlihat ada liang-liang pada jaringan hati. Pada saluran-saluran empedu terdapat gumpalan cokelat kotor, berlendir dan berbutir, empedu bercampur kotoran yang berisi cacing Fasciola sp. Pada serangan yang hebat terjadi perubahan jaringan hati menjadi jaringan ikat.
Gambar disamping menunjukkan hati yang rusak karena manifestasi cacing hati. Panah hijau menunjuk pada cacing Fasciola sp.
Pemberantasan cacing ini harus diawali dari kemauan & tekad peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan. Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang. Pembasmian siput air yang merupakan agent pembawa serkaria dinilai juga cukup efektif. Penggunaan obat anti cacing
VERMIX secara periodik dalam siklus pemeliharaan adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang.
Menghadapi fenomena ini sebaiknya kita - dan tentu saja didukung oleh seluruh pihak terkait, pemerintah, pelaku peternakan dan dokter hewan – harus lebih sigap dan tanggap dalam menganalisa setiap kejadian cacingan di hewan ternak. Karena dikhawatirkan penyakit ini juga dapat terjadi pada manusia. Manusia dapat terinfeksi oleh termakannya metacercaria yang menempel di tanaman yang hidup di air, terutama air tawar. Hal tersebut dimungkinkan karena kebiasaan manusia yang gemar memakan sayuran mentah. Setelah proses menelan, metacercaria berada di usus duabelas jari dan bermigrasi melalui dinding usus, dan dari parenkim hati menuju ke saluran empedu, di mana mereka berkembang menjadi dewasa . Dalam tubuh manusia, pematangan dari metaserkaria menjadi cacing dewasa berlangsung sekitar 3 sampai 4 bulan dengan panjang mencapai 30 mm - 75 mm.
Di Amerika Latin, Prancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia. Fascioliasis terjadi di seluruh dunia. Manusia dengan infeksi Fasciola hepatica yang ditemukan di tempat domba dan ternak lain digembalakan. Dimana manusia mengkonsumsi air mentah termasuk Eropa, Timur Tengah dan Asia. Indonesia sangat beruntung dibandingkan dengan negara Asia lainnya - India, Kamboja dan Filipina dimana kejadiannya banyak terjadi pada anak-anak dengan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu antara 10-57% - karena spesies Fasciola sp yang menyerang ternak ruminansia hanya ada dua spesies, yaitu Fasciola Hepatica dan Fasciola Gigantica dimana hospes perantaranyapun juga hanya satu, yaitu siput Lymnaea rubiginosa. Namun yang perlu diwaspadai, selain kedua spesies Fasciola sp di atas, di Indonesia ada satu spesies trematoda lainnya yaitu, Fasciolopsis buski dimana kasus kejadiannya sering terjadi pada manusia. Dalam data pengaduan yang tercatat, kasus tersebut terjadi di pedalaman Kalimantan Selatan, Fasciolopsis buski menyerang anak - anak usia 10-12 tahun. Maka dari itu, walaupun memang kasus yang terjadi tidak sebanyak seperti di Negara dengan empat musim atau subtropis - Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand – kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Mengingat tingginya prevalensi penyakit ini pada ternak di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat yang mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 40-90%, maka perlu diwaspadai kemungkinan penularan penyakit ini pada manusia di Indonesia. Sumber utama penularan pada manusia adalah kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi tanaman atau tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan mentah yang dimungkinkan tercemar metaserkaria.
Penularan penyakit ini dapat pula terjadi akibat penggunaan air yang tercemar metaserkaria Fasciola sp, misalnya air tersebut diminum dalam keadaan mentah. Jumlah metaserkaria Fasciola buski yang hanyut di permukaan air dapat mencapai sekitar 3,6% dari total metaserkaria yang dikeluarkan oleh siput. Kebiasaan memakan sejenis kacang-kacangan yang tumbuh di air yang tidak dicuci dan dimasak dengan maksimal. Infeksi terjadi bukan karena kacangnya yang mengandung metaserkaria tetapi akibat dari cara makan kacang tersebut, yaitu pada saat mengupas kulit kacang dengan cara menggigit dan tanpa disadari metaserkaria yang menempel pada kulit kacang tersebut masuk ke dalam mulut dan tertelan.
World Health Organization pada tahun 2000 telah menyatakan bahwa fascioliasis adalah penyakit zoonosis dan diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena penyakit ini berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Sejak 20 tahun terakhir ini, kasus fasciolosis pada manusia semakin banyak.
Dengan paparan diatas, masihkah kita menganggap remeh dengan dampak masalah yang diakibatkan Fasciola sp? Untuk mencegah dampak yang semakin parah, budidaya cacing hati pada ternak, harus segera dihentikan. Upaya pencegahan penularan penyakit fasciolosis pada manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengubah kebiasaan pola makan pada masyarakat, seperti tidak mengkonsumsi hati mentah maupun sayuran mentah, serta selalu minum air yang telah direbus terlebih dulu. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi.
Pengendalian penyakit dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan:
Ø Sifat biologis cacing hati: telur, larva, dan dewasa.
Ø Sifat biologis siput: dinamika populasi, habitat, dan sebaran siput. .
Ø Potensi berbagai obat cacing.
Pola pengendalian penyakit meliputi:
Ø Limbah kandang sebagai pupuk padi harus dikomposkan.
Ø Pengobatan pada sapi yang terserang penyakit Fasciolosis
Ø Jerami dari sawah dekat kandang sebagai pakan ternak harus dipotong setinggi 1-1,5 jengkal dari tanah (di atas pematang), dipotong-potong dan dijemur.
Ø Tidak menggembalakan ternak di daerah berair atau pernah diairi.
Ø Program pengobatan rutin pada musim kering/kemarau.